Rabu, 02 November 2011

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich 
Fakultas Sastra Unversitas Negeri Malang 

Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis. Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.

A.Asimilasi  
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Perhatikan contoh berikut. 1.Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif. 2.Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara, dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara. Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan atau diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif. 3.Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal. Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke [g’] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi [h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/. Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang yang sama. Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya makan ikan’, kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/. 

B.Disimilasi Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Perhatikan contoh berikut! 1.Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis. 2.Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana [sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu disebut disimilasi fonemis. 3.Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.

C.Modifikasi Vokal Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan. Perhatkan contoh berikut! 1.Kata balik diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika mendapatkan sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah menjadi [i] tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I] masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī], ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan). 2.Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu. (Coba jelaskan!) Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal. Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa disebut modifikasi internal. 

D. Netralisasi Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/. Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya). 

E. Zeroisasi Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya. Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung. Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya: - shall not disingkat shan’t - will not disingkat won’t- - is not disingkat isn’t - are not disingkat aren’t - it is atau it has disingkat it’s. Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi. Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop. 
1.Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya:  tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa 
2.Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi pulau 
3.Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti. 
 
F.Metatesis 
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya: kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab arbab

G.Diftongisasi 
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba. Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain: - teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au] - topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au] H. Monoftongisasi Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong. Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain: - kalau [kalau] menjadi [kalo] - danau [danau] menjadi [dano] - satai [satai] menjadi [sate] - damai [damai] menjadi [dame]  
I.Anaptiksis 
  Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya: - putra menjadi putera - putri menjadi puteri - bahtra menjadi bahtera - srigala menjadi serigala - sloka menjadi seloka Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba. Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba baru dengan puncak silaba pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo]. Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan paragog. 

1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya: - mpu menjadi empu - mas menjadi emas - tik menjadi ketik 
 2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya: - kapak menjadi kampak - sajak menjadi sanjak - upama menjadi umpama 
3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya: - adi menjadi adik - hulubala menjadi hulubalang - ina menjadi inang Bahan Pendalaman: 1.Pada asimilasi progresif, dari mana diketahui bahwa bunyi yang diasimilasi-kan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan? Berikan alasan yang jelas beserta contohnya! 2.Peristiwa asimilasi bisa dilihat secara sinkronis dan diakronis. Apa maksudnya? Berikan ilustrasi yang jelas! 3.Mengapa peristiwa labialisasi dan palatalisasi tidak dimasukkan dalam asimilasi ? 4.Berikan penjelasan tentang netralisasi atas fonem /g/ dan /k/ dalam bahasa Indonesia disertai contoh! 5.Secara sinkronis, dari mana bisa diketahui bahwa suatu bunyi itu termasuk peristiwa zeroisasi? Buktikan! 6.Peristiwa monoftongisasi dilatarbelakangi oleh sikap pemudahan ucapan atas bunyi-bunyi diftong. Pada peristiwa diftongisasi, apa yang melatarbelakanginya? Jelaskan dan berikan contoh! 7.Berikan komentar atas kasus-kasus berikut! (a) auto mobil hanya disebut mobil (b) bagai ini disebut begini (c) al salam menjadi assalam (d) mahardhika menjadi merdeka (e) in-port menjadi impor Uraian lebih lanjut silakan baca Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)

Tidak ada komentar: